Kekalahan Real Madrid dari PSG 4-0 di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025 menjadi salah satu momen paling menyakitkan dalam sejarah modern Los Blancos. Pertandingan yang berlangsung di MetLife Stadium, Kamis (10/7) dini hari WIB, menjadi bukti bahwa Real Madrid masih jauh dari kata stabil, meski ditangani pelatih baru Xabi Alonso. Dominasi mutlak Paris Saint-Germain sejak menit pertama membuat Real Madrid tak berkutik. Fabian Ruiz mencetak dua gol, sementara Ousmane Dembele dan Goncalo Ramos menambah dua gol lainnya untuk membawa PSG ke final.
Data statistik membuktikan betapa timpangnya performa kedua tim. PSG menguasai 68% penguasaan bola, melepaskan 17 tembakan dengan 7 di antaranya tepat sasaran, dan mencatat akurasi umpan luar biasa sebesar 93%. Sebaliknya, Real Madrid kesulitan menciptakan peluang dan hanya bermain bertahan tanpa arah. Padahal, lima laga sebelumnya mereka jalani dengan catatan positif.
Namun, kekalahan ini membuka mata banyak pihak, terutama fans dan manajemen klub, bahwa ada banyak hal yang harus dibenahi oleh Real Madrid. Berikut lima pelajaran penting dari kekalahan telak ini yang bisa menjadi cerminan untuk masa depan Los Blancos.
1. Akhir dari Awal Indah Xabi Alonso
Kekalahan ini menjadi catatan pertama dan paling pahit bagi Xabi Alonso sebagai pelatih Real Madrid. Setelah memulai masa tugasnya dengan catatan cukup meyakinkan — empat kemenangan dan satu hasil imbang — Alonso harus menerima realita pahit kalah dengan skor telak.
Bukan hanya kalah, Madrid juga bermain buruk dari segala aspek. Lini pertahanan yang biasanya solid terlihat rapuh dan mudah ditembus. Duet bek tengah gagal membaca pergerakan lawan, dan gelandang tidak mampu mengontrol tempo permainan. Ini menjadi sinyal keras bagi Alonso menjelang jadwal berat seperti El Clasico dan fase gugur Liga Champions.
2. Eksperimen Taktik Gagal Total
Dalam laga tersebut, Xabi Alonso mencoba eksperimen taktik baru akibat absennya beberapa pemain kunci. Raul Asencio yang menggantikan Dean Huijsen tak mampu tampil maksimal. Lini belakang Madrid tampak kacau saat menghadapi agresivitas tinggi PSG.
Di lini depan, trio Kylian Mbappé, Gonzalo Garcia, dan Vinicius Junior tak menunjukkan sinergi. Garcia gagal mencetak tembakan, Vinicius hanya melepaskan satu percobaan, dan Mbappé nyaris tak mendapat suplai bola. Eksperimen ini tidak hanya gagal, tapi memperlihatkan bahwa Real Madrid belum punya pelapis ideal jika beberapa pemain inti absen.
3. PSG Menunjukkan Konsistensi Strategi
PSG kembali menerapkan strategi yang sama seperti di final Liga Champions saat melawan Inter Milan: menyerang agresif sejak menit awal. Dua gol cepat dalam sembilan menit pertama membuat mental Madrid runtuh.
Gol ketiga datang di menit ke-24, membuat laga praktis selesai sebelum turun minum. Strategi ini menunjukkan bahwa PSG bukan hanya kuat secara individual, tetapi juga matang secara kolektif. Kombinasi pressing tinggi, efisiensi serangan, dan kecepatan rotasi pemain membuat Madrid tidak memiliki ruang untuk bernapas.
4. PSG di Ambang Sejarah Sextuple
Bagi PSG, kemenangan atas Real Madrid ini bukan sekadar kemenangan prestisius. Les Parisiens kini tinggal dua langkah lagi dari sejarah sextuple — menyapu bersih enam gelar dalam satu musim.
Empat gelar sudah ada di tangan mereka: Ligue 1, Coupe de France, Trophee des Champions, dan Liga Champions. Dua trofi tersisa adalah Piala Dunia Antarklub dan Piala Super Eropa. Jika berhasil menang atas Chelsea dan Tottenham, maka PSG akan menyamai rekor bersejarah Barcelona pada tahun 2009.
Tak ada keraguan bahwa PSG asuhan Luis Enrique kini menjelma sebagai salah satu tim paling menakutkan di dunia, dengan permainan kolektif yang efisien dan penuh determinasi.
5. Laga Perpisahan yang Menyayat Hati
Pertandingan melawan PSG juga menjadi momen emosional bagi dua pilar senior Madrid: Luka Modric dan Lucas Vazquez. Besar kemungkinan, laga ini adalah penampilan terakhir mereka dalam seragam putih kebanggaan.
Modric, gelandang veteran yang telah mempersembahkan banyak gelar selama lebih dari satu dekade, dikabarkan akan bergabung dengan AC Milan. Sementara Lucas Vazquez, produk asli akademi Madrid, diyakini akan hengkang setelah belasan tahun bersama klub. Sayangnya, karier panjang mereka diakhiri dengan kekalahan telak — sesuatu yang pasti berat bagi para legenda ini.