Al Ittihad, dengan ambisi besar dan penuh gemerlap, menjadi salah satu tim yang aktif dalam mendatangkan pemain bintang pada awal musim 2023/2024. Namun, ironisnya, dalam cahaya sorot para pemain mahal yang berhasil mereka akuisisi, Al Ittihad malah menemui kendala di klasemen Saudi Pro League.
Menutup paruh pertama musim 2023/2024, Al Ittihad mendapati diri mereka berada di posisi ke-6 dalam klasemen Saudi Pro League. Dengan lima kekalahan dari 17 pertandingan yang telah dimainkan, mereka hanya mengumpulkan 28 poin. Meskipun bagi kebanyakan klub pencapaian ini mungkin masih dianggap baik, namun, Al Ittihad tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai juara bertahan Saudi Pro League, ekspektasi tinggi mereka terhadap kesuksesan.
Pertanyaan muncul: mengapa tim yang telah mengeluarkan lebih dari €121 juta untuk merekrut pemain top harus terpuruk di klasemen? Kasus Al Ittihad menjadi peringatan bahwa uang tidak selalu menjadi kunci kesuksesan di dunia sepak bola. Belanja besar di awal musim tidak selalu dapat mengatasi dinamika tim dan menghasilkan performa yang diharapkan.
Keberhasilan di lapangan tidak hanya tergantung pada kemampuan individu pemain, tetapi juga pada kemampuan mereka untuk berintegrasi sebagai tim yang solid. Keseimbangan antara talenta individual dan sinergi tim menjadi kunci utama untuk meraih sukses yang berkelanjutan. Al Ittihad, dengan segala investasi yang mereka lakukan, harus kembali mengevaluasi strategi mereka dan menemukan solusi agar prestasi di lapangan sejalan dengan ekspektasi yang mereka miliki.
Namun, meski begitu mereka tidak kunjung mendapatkan hasil maksimal.
Isu Tentang Internal Tim
Pada awal musim 2023/2024, Al Ittihad memperoleh perhatian luas dengan mendatangkan sejumlah pemain bintang dengan biaya transfer yang mencengangkan. Fabinho, dengan label sebagai pemain termahal yang dibeli, tiba dari Liverpool dengan nilai transfer sebesar €46 juta. Tak kalah mencolok, Jota dan Luiz Felipe juga menjadi bagian dari pembelian besar-besaran Al Ittihad dengan harga masing-masing €29 juta dan €22 juta.
Meski demikian, bintang-bintang baru seperti Karim Benzema dan Ngolo Kante, juara Liga Champions, menjadi fokus utama. Keduanya tidak hanya membawa reputasi kejayaan di level tertinggi sepak bola Eropa, tetapi juga mendapatkan gaji fantastis sebagai imbalan atas kehadiran mereka di Al Ittihad.
Ironisnya, performa tim tidak sejalan dengan ekspektasi yang tinggi. Hasil buruk di awal musim mengakibatkan pemecatan pelatih Nuno Espirito Santo, yang digantikan oleh Marcelo Gallardo. Pergantian pelatih ini menciptakan suasana yang dinamis di tim, dengan harapan bahwa perubahan kepemimpinan dapat memberikan dorongan yang diperlukan untuk memperbaiki performa tim.
Selain permasalahan prestasi, muncul pula rumor yang menyebutkan bahwa Nuno Espirito Santo kehilangan kendali atas ruang ganti. Isu ini menambah kompleksitas situasi di Al Ittihad, memunculkan pertanyaan tentang dinamika internal di tim dan pengaruhnya terhadap performa mereka di lapangan. Maka, Al Ittihad tidak hanya dihadapkan pada tantangan di arena pertandingan. Tetapi juga perlu menyelesaikan potensi masalah di dalam ruang ganti untuk mencapai stabilitas dan kembali meraih sukses.