Di cabang sepak bola, revolusi terjadi secara besar-besaran terkhusus pada aturan pemain asing, termasuk di Liga Indonesia. Pemain profesional dengan kualitas mumpuni pun telah menyebar ke berbagai liga di seluruh belahan dunia.
Aturan pemain asing pun mulai ditata. Kebijakan di Indonesia dimulai dari kompetisi Galatama pada era 1980-an dengan dibentuknya klub-klub privat yang di danai oleh orang-orang kaya yang ada di Tanah Air. Namun ada aturan ketika belum jelas, salah satunya terkait dengan jumlah dan asal negara si pemain.
Manuver Galatama
Dalam sejarah awal Galatama tidak ada banyak pemain asing yang beredar. Karena liga ini masih baru lahir, sehingga tidak begitu memikat minat para pesepak bola luar negeri. Selain itu, pamor dari sepak bola Indonesia pada saat itu masih medioker juga menjadi pertimbangan mereka.
Dari catatan hanya ada 8 pemain asing yang mana pernah berkiprah dalam kompetisi Galatama (1979-1993). Namun dengan adanya kehadiran dari pemain asing gelombang pertama ini telah menumbuhkan animo para penonton untuk menyaksikan aksi mereka di lapangan hijau. Selain itu, tentu saja pengelola Galatama harus mampu bersaing dengan klub Perserikatan yang dimana telah memiliki pendukung yang sangat fanatik tradisional lebih besar.
Klub Pardedetex Medan yang paling getol dalam memanfaatkan regulasi para pemain asing. 2 pemain asing pertama mereka yaitu Steve Tombs dan Paul Smythe. yang ke-2 pemain dari Exeter, klub Divisi III Liga Inggris. Itu memperkuat Pardedetex di Galatama I/1979-1980. Musim 1980-1983, datang juga pemain asal Brasil, Jairo Matos yang ditransfer dari Yomiuri (Jepang). Pardedetex juga pernah mengontrak pemain asal Belanda berdarah Suriname, Wendel van Leeuwarde pada musim 1982-1983.
Di musim yang sama, Niac Mitra juga mendatangkan seorang kiper David Leedan Fandi Ahmad asal Singapura. Ada pula sosok pemain asal Belanda berdarah Ambon, Moses Isaac dan Hans Manuputty, yang memperkuat Tunas Inti. Di gelombang selanjutnya ada 5 pemain asing yaitu Agusto Savilla (Brasil) –rekan Jairo Matos di Yomiuri, Juan Carlos (Brasil), Soh Chin Aun (Malaysia), Piyapong Pue-on (Thailand), dan Rainer Bonhoff (Jerman [Barat]). Namun, mereka harus batal tampil di pentas galatama. Karena ada masalah soal match fixing yang dimana membuat Galatama harus dibubarkan.
Era baru
Air bah pemain asing kembali datang untuk membanjiri Indonesia pada era penyatuan kompetisi Eks Galatama dan Perserikatan 1994. Saat itu, PSSI telah menyiapkan puluhan pemain asing untuk ditawarkan ke tim-tim peserta liga Indonesia edisi perdana. Untuk pertama kali muncul peran agen pemain sebagai sebuah perantara antara pemain dan klub. Saat itu nama dari Angel Ionita paling populer.
Tidak seperti eranya Galatama, PSSI pun telah mulai menerapkan sebuah aturan yang dimana tiap klub hanya diizinkan untuk menggunakan 3 pemain asing. Di awal liga Divisi Utama, muncul nama-nama pemain bintang kelas dunia yakni Roger Milla dari Kamerun dan Mario Kempes dari Argentina.
Dalam perkembangannya, musim kompetisi 2003, PSSI telah mengeluarkan peraturan yang baru untuk memperbolehkan setiap klub peserta Liga Indonesia memiliki 5 pemain asing. Kuota pemain itu berlaku hingga musim 2014 atau sebelum PSSI dibekukan dan mendapatkan sanksi dari FIFA. Bak gayung bersembut, banyak agen pemain yang menilai bahwa Indoneisa adalah negara yang tetap buat kliennya mengadu nasib. Eropa, Afrika, dan Asia menjadi benua favorid buat klub Liga Indonesia. Bahkan mantan bintang piala dunia juga tertarik.
Salah satunya kejutan yang dibuat oleh Pelita Jaya yang dimana mereka merekrut Roger Milla, bintang Timnas Kamerun. Yang menciptakan sensasi dengan menembus perempat final Piala Dunia 1990. Meski telah termakan oleh usia, Rogel Milla masih mampu untuk menciptakan 23 gol dari 23 pertandingan. Mantan bintang timnas Argentina di Piala Dunia 1978, Mario Kempes. Juga pernah berlaga di liga Indonesia, tepatnya bersama dengan Pelita Jaya pada tahun 1999. Striker andalan Albiceleste itu menyumbang 10 gol di 15 pertandingan yang dilakoni bersama Pelita.
Pembaruan
DI era LPI sempat memberlakukan sebuah istilah marquee players dengan kualifikasi ketat untuk mengangkat level kompetisi. Namun kompetisi tidak berjalan begitu lama, karena telah terjadi dualisme di kompetisi LPI dan ISL yang dimana membuat PSSI harus dibekukan sebagai anggota dari FIFA.
Aturan pemain asing juga terus berkembang sesuai dengan regulasi yang telah diterapkan oleh AFC dan FIFA. Mau tak mau, Indoneisa sebagai anggota ke-2 akreditasi untuk klu yang bisa berlaga di level antar klub Asia. Kini mereka harus busa tampil di level ke-2 dan ke-3 di Asia. Karena grade untuk kompetisi Indoneisa berada di level ke-2 dan ke-3 Asia.
Agar para klub-klub bisa naik derajat di tataran antar Klub Asia, meka telah menambahkan kuota untuk para pemain asing pun harus ditambah guna mengangkat kualitas kompetisi. ini dimulai di liga 1 dengan memakai sebuah aturan pemakaian 5 pemain asing. Dengan perincian 3 pemain bebas dri benua apapun, dan masing-masing satu dari Asia dan Asia Tenggara.
Untuk Liga 1 2024/2025 mendatang, PSSI, PI LIB, dan klub peserta kompetisi sedang menggodok aturan baru dengan kuota delapan pemain asing. Banyak pertimbangan terkait rencana penerapan aturan anyar ini. Tujuan utama adalah mengangkat mutu kompetisi untuk mengejar ketinggalan Indonesia atas negara-negara Asia lainnya.
Misi tersirat adalah memberi atmosfer persaingan positif antara pemain lokal dan asing secara profesional. Faktor terselubung di baliknya yaitu hitungan ekonomis. Karena, konon, harga pemain lokal terlalu mahal dibanding pemain asing. Sehingga klub-klub pun secara realistis lebih memilih mengontrak pemain asing murah dengan kualitas setara pemain pribumi.